Muhammad Dibunuh Umat Muhammad
Karbala, 10 Muharram, petang. Al-Husain menembus barisan musuh. Gerak lincah pedangnya disambut jeritan nyaring tentara-tentara Umar yang sekarat dan kesakitan. Korban tewas dan luka parah berjatuhan memadati arena. Pasukan lawan kalang kabut tak mampu menahan serangan Al-Husain. Syimir segera menghampiri Umar, sang komandan tertinggi."Hai Umar, orang ini dengan mudah akan melenyapkan kita semua." Ujarnya memperingatkan.
"Lalu, apa yang bisa kita lakukan?" tanya Umar bingung.
"Bagilah pasukan menjadi tiga! Pasukan pertama terdiri dari tentara panah. Pasukan kedua terdiri dari tentara pedang. Sedangkan pasukan ketiga terdiri dari tentara api dan batu. Lalu perintahkan semuanya melakukan penyerbuan sermpak kearahnya!" sahut Syimir sambil menyaksikan dari jauh kepiawaian putra kedua Ali itu melihat musuh-musuhnya.
"Dengan cara inilah kematian Al-Husain bisa dipercepat dan jumlah korban dipihak kita bisa dikurang." sambungnya.
Usulan Syimir diterima. Umar memanggil mundur pasukannya kemudian membaginya menjadi tiga pasukan.
Tak lama kemudian ratusan tombak, panah, batu dan api dibidikkan kearah Al-Husain. Putra Ali ini tak kuasa menghindar. Luka disekujur tubuh manusia suci itupun kian bertambah. Al-Husain tetap mengadakan perlawanan sekuat tenaganya. Sebuah anak panah beracun yang ditembakkan Khuli bin Yazid mengenai dada cucunda Nabi mulia itu. Ia terhuyung kehilangan keseimbangan tubuhnya dan tak lama kemudian terjatuh dari kudanya. Lubang didadanya merekah dan darah menyiram badannya. Al-Husain mencoba menahan pedih luka-lukanya sambil berusaha untuk bangkit. Sayang, sebuah anak panah lagi dari arah sampig yang dihunjamkan Abu Quddamah al-Amiri menancap didada kanannya. Al-Husain roboh, urung bangkit. Ia mengerang kesakitan ditengah lingkaran pasukan berkuda Umar bin Sa`d.
Dengan sisa kekuatannya, Al-Husain mencabut panah yang masih menancap didada kanannya sekuat tenaga seraya menggigit bibirnya yang pucat kemuning. Darah segar menyembur dari luka didadanya. Tangannya mengusap darah dipermukaan jenggotnya seraya berucap parau;
"Demikiankah kalian mengucapkan terima kasih kalian kepada kakekku! Dengan tubuhtubuh dan wajah yang berdarah inilah aku akan menghadap kakekku, agar beliau tahu betapa kalian sangat membenci kebenaran dan agamanya."
Usai mengutarakan keluhannya, Al-Husain jatuh pingsan sesaat. Pasukan musuh membiarkan tubuh itu tergeletak begitu saja sambil menanti Al-Husain siuman. Pasukan musuh mulai panik tidak tahu apakah Al-Husain telah gugur ataukah masih hidup. Setelah berjalan beberapa saat, sementara jasad Al-Hsuain tak juga bergerakk, tiba-tiba Zur`ah al-Kindi melompat dari kudanya dan menduduki jasad putra Fatimah yang lunglai itu. Pukulan pertama Zur`ah bin Syarik mengenai bahu kiri Al-Husain. Sasaran kedua adalah leher cucu Nabi itu. Zur`ah merasa perlu melengkapi keganasannya dengan menacapkan ujung pedangnya diwajah tampan jawara bani Hasyim itu. Al-Husain tersadarkan dari pingsannya oleh pukulan itu, ia kini tak mampu menjerit.
"Semoga Allah meletakkan kau kelak pada tempatmu yang layak, neraka, bersama manusia-manusia durjana lainnya." Pedang Al-Hsain dirampas, kini pemimpin pemuda-pemuda surga itu duduk diatas tanah tanpa senjata membiarkan darah tetap membasahi tubuhnya ditengah lingkaran pasukan berkuda yang berputa-putar.
Teriakan-teriakan pasukan Umar mengalahkan pekikan dan erangan tangis Zainab dan adik-adiknya yang meronta-ronta sedih diseberang.
"Hai, apa yang membuat kalian diam? Cepat selesaikan!" seru Umar dari belakang.
Al-Husain tergeletak selama beberapa menit. Perlawanan telah berakhir, sekonyong-konyong Syabts bin Ruba`i menyeruak dari barisan dan bergegas menuju Al-Husain yang kehilangan tenaganya. Namun secara tak terduga lelaki yang dikenal beringas itu kembali kebarisannya.
"Hai, mengapa kau kini menjadi penakut? Mengapa kau batalkan niat membunuh Al-Husain?" tegur Sinan bin Anas mengejek.
"Hai keparat, tahukah kau, ia tiba-tiba membuka matanya dan seketika kulihat wajah Muhammad kakeknya." bantah Syabts mengutarakan alasannya.
"Kau memang takut!" sambar Sinan sambil memisahkan diri dari barisannya menuju jasad Al-Husain.
Ketika hendak mengayunkan pedangnya kearah leher Al-Husain, sinan tiba-tiba melepaskan pedangnya dan lari meninggalkan tubuh tak berdaya itu sendirian. "Hai kau, mengapa kau lari terbirit -birit seperti burug onta dikejar harimau?" sergah Syimir mengejek.
"Sungguh wajahnya adalah wajah Muhammad," jawab Sinan sambil menundukkan wajahnya.
Dasar keturunan pengecut!" kecam Syimir.
Syimir menghampiri tubuh yang tergeletak itu. Manusia berwajah sangat buruk itu kini sedang duduk diatas dada Al-Husain.
"Hai, jangan samakan aku dengan dua orang yang tadi mendtangimu!" ejeknya sementara tangan kirinya memepermainkan jenggot adik Al-Hasan al-Mujtaba itu.
"Siapa kau? Apa yang membuatmu begitu biadab?" tanya Al-Husain dengan suara erputus.
"Syimr adh-Dhibbabi,: jawabnya singkat sambil hunus pedangnya.
"Tahukah kau siapa orang yang sedang kau duduki? Siapakah aku?" tanya Al-Husain.
"Ya, aku tahu kau adalah Al-Husain putra Ali dan Fatimah binti Muhammad, binti Khadijah," jawabnya datar.
"Lalu, mengapa kau masih berniat membunuhku?" protes Al-Husain yang mulai merasakan sesak dadanya.
"Aku mengharapkan imbalan dari Yazid," sahutnya sambil meringis.
"Tidakkah kau mengharapkan syafaat dari kakekkuRasullah?" tanya Al-Husain kemudian.
"Hai, sedikit dari imbalan Yazid lebih aku sukai keimbang ayah, kakek, dan nenek moyangmu," bantah Syimr sombong disusul tawa keras.
"Kalau memang kau harus membunuhku, maka berilah sedikit minum lebih dulu!" pinta Al-Husain.
"Oh, itu mustahil. Sekali lagi, permintaanmu mustahil kami ijinkan! Kau akan mati dicekik haus demi sesaat! Sedikit air akan memperpanjang pertempuran. Bersabarlah sedikit! ak lama lagi kau akan diberi minum air telaga oleh kakekmu! Bukankah begitu?" ujarnya menghina disusul tawa keras.
Mendadak Syimr terdiam dan setelah itu Al-Husain berkata: "Bukalah kain penutup wajahmu!"
Syimr memperlihatkan wajahnya lalu menutupnya kembali.
"Benar ucapan kakekku," ujar Al-Husain.
"Hai, apa ucapan kakekmu itu?" tanyanya penasaran.
"Kakekku pernah memberitahu aku bahwa pembunuhku adalah lelaki berwajah menakutkan. Tubuhnya penuh bulu kasar hingga tampak tidak memikat daripada babi hutan," timpal Al-Husain seraya memalingkan wajahnya.
"Bedebah! Terkutuklah kau dan kakekmu yang menyamakan aku dengan babi dan anjing. Akan kusembelih kau perlahan-lahan sebagai balasan atas ucapan kakekmu itu!" sungut Syimr dengan nada benci.
Drama Karbala memasuki adegan paling menyayat hati. Syimr mulai melepas setiap anggota badan Al-Husain perlahan-lahan. Al-Husain hanya menjerit parau: "Wa Muhammadah! Wa Aliyah! WaHasanah! Wa Ja`farah! Wa Hamzatah! Wa Aqilah! Wa Abbasah! Wa Qatilah!" setiap kali pedih luka dirasakannya.
Ketika tak satupun anggota badan Al-Husain yang lolos dari sayatan pedang, Syimr memindahkan pedangnya yang amat tajam dan panjang itu keleher Al-Husain. Kepala cucunda kesayangan Nabi itu kini digerakkan kekanan dan kekiri oleh seekor binatang buas bernama Syimr bin Dzil-Jausyan itu.
Gema tangis dan raungan wanita-wanita keluarga Abdul Qasim yang membumbung keangkasa mengawali adegan pemisahan leher Al-Husain dari tubuhnya. Tubuh penuh luka itu menggelepar-gelepar tatkala pedang manusia babi hutan membuka dan membuka dengan tenang permukaan kulit Al-Husain.
Ju`urah bin Hauyah merebut pakaian dalam Al-Husain sedangkan panah dan busur Al-Husain dirampas oleh A-Rahil bin Khaitsamah, Al-Ja`fi bin Syabib al-Hadhrami dan Jarir bin Mas`ud al-Hadhrami.
Ishaq bin Hauyah melucuti pakaian Al-Husain yang telah tergeletak. Al-Akhnas bin Mirtsad bin Alqamah melepas sorban yang melilit kepalanya. Al-Aswad bin Khalid mengambil paksa sepasang sepatunya. Jadal terpaksa memotong jari Al-Husain karena kesulitan melepas cincinnya.
"Hai, siapakah yang berani menginjak-injak tubuh Al-Husain dengan kaki kudanya?" teriak Ibnu Sa`d mengumumkan sayembara.
"Kami," sahut sepuluh penunggang kuda, termasuk Ishaq bin Hauyah al-Hadhrami dan Akhnas bin Mirtsad al-Hadhrami. "Pesta iblis" pun dipersembahkan demi menyempurnakan kejahatan Yazid dan anak buahnya. Tubuh pemimpin para pemuda surga itu terkoyak-koyak, terlempar dan terbanting diantara sepuluh kota. Sementara Umar dan pasukannya terus menenggak khamar merayakan kemenangan.
Diseberang, takbir bergaung dan jerit tangis wanita bergema tatkala melihat kuda jantan berwarna putih itu datang tanpa penunggang.
Zainab dan para wanita Ahlul Bait berhamburan memeluk kuda penuh luka itu seraya berteriak parau: "Wa Husainah! Wa Qatilah!Wa Akhah!"
Al-Husain terbang dengan seulas senyum. Merpati-merpati diemperen masjid dan halaman Ka`bah serentak terbang. Tanah dalam botol milik Ummu Salamah seketika mencair merah. Langit bergemuruh dan awan gulita bergulung diangkasa. Bunga-bunga tulip berguguran. Para pujangga tergagap. Dunia tersentak.
Nainawa pada 10 Muharram diambang petang bergerai riuh melepas kemanusiaan terbang kepangkuan Yang Ada. Inna lillah wa inna ilaihi raji`un.
Inilah sekelumit penggalan kisah tertragis sepanjang umur dunia, dari buku:
Prahara Di Nainawa, Sebuah Roman Sejarah Abad VII Masehi (165-173) 287 halaman- karya: Muhsin Labib, pengantar: Motinggo Busye
Yayasan Ulul Albab, lhokseumawe, Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar