NABI BERMUKA MASAM?? Maret 26, 2007
Telaah Kritis Tafsir Al-Misbah U M. Quraish Shihab: Menyoal Muka Masamnya Nabi Saw |
Teabathaba’i tidak menerima riwayat yang menyatakan bahwa ayat-ayat di atas turun sebagai teguran kepada nabi Muhammad saw. Menurut ulama itu redaksi ayat itu tidak secara jelas menyatakan bahwa teguran ditujukan kepada nabi Muhammad saw. Ia hanya mengandung informasi tanpa menjelaskan pelakunya. Bahkan—menurutnya— terdapat petunjuk bahwa yang dimaksud bukan nabi Muhammad saw Saya menyebutnya sebagai karya besar karena karya tafsir dalam bahasa Indonesia sedalam dan setebal ini sangat langka bisa kita temukan di tanah air, atau malah mungkin tidak ada sama sekali. Bagi saya, karya ini merupakan sumbangan besar dalam kepustakaan al-Qur’an di Indonesia. Hanya saja, “kebesaran tafsir ini” bukan berarti ia steril dari kesalahan dan kekurangan. Seperti yang dikatakan oleh penulisnya sendiri bahwa peminat studi al-Qur’an kiranya dapat menyempurnakannya. Karena betapapun, ini adalah karya manusia yang dha`if yang memiliki aneka kekurangan, demikian penegasan Ustad Quraish yang sangat tawadu`. Berangkat dari situ, saya mencoba menelaah dan memberi catatan atas beberapa tema penting dalam tafsir tersebut. Pada tulisan kali ini, saya memulai dengan membahas perihal “Muka Masamnya Nabi saw”. Menurut hemat saya, masalah ini merupakan masalah yang penting yang layak untuk kita diskusikan guna mencari titik temu atau titik terang yang lebih menjanjikan. Dan pada kajian berikutnya—yakni tulisan selanjutnya yang sedang saya persiapkan secara berkala—akan menyinggung tema-tema penting lainnya. Selanjutnya, marilah kita masuki pokok kajian ayat pertama dan kedua surah Abasa. Allah swt berfirman: Dia bermuka masam dan berpaling, karena telah datang kepadanya seorang tunanetra (QS. Abasa: 1-2) Pandangan Allamah Thabathaba’i Sebelum memberikan pandangannya terhadap ayat tersebut, Ustad M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah terlebih dahulu menyampaikan pendapat Allamah Thabathaba’i berikut ini: Thabathaba’i tidak menerima riwayat yang menyatakan bahwa ayat-ayat di atas turun sebagai teguran kepada nabi Muhammad saw. Menurut ulama itu redaksi ayat itu tidak secara jelas menyatakan bahwa teguran ditujukan kepada nabi Muhammad saw. Ia hanya mengandung informasi tanpa menjelaskan pelakunya. Bahkan—menurutnya— terdapat petunjuk bahwa yang dimaksud bukan nabi Muhammad saw, karena bermuka masam bukanlah sifat beliau terhadap lawan yang jelas-jelas berseberangan dengan beliau, apalagi terhadap kaum beriman. Lalu penyifatannya bahwa beliau memberi pelayanan kepada orang-orang kaya dan mengabaikan orang-orang miskin, tidaklah serupa dengan sifat nabi saw dan tidak juga dengan al-Murtadha (Sayidina Ali ra). Allah swt telah mengagungkan sifat nabi Muhammad saw ketika Yang Maha Kuasa itu berfirman dalam surah Nun yang turun sebelum turunnya surah ini bahwa: “Dan sesungguhnya engkau berada di atas budi pekerti yang agung.” (QS. Nun: [68]: 4) Maka bagaimana mungkin Allah mengagungkan budi pekerti beliau secara mutlak pada masa awal kenabian beliau, lalu Dia mengecam beliau atas beberapa sikap dan mencelanya karena melayani orang-orang kaya—lagi meminta petunjuk. Di sisi lain—lanjut Thabathaba’i. Allah juga telah berpesan bahwa: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang mukmin.” (QS. asy-Syu`ara [26]: 215). Dan sekian banyak ayat yang semakna. Demikian antara lain Thabathaba’i yang kemudian meriwayatkan dari sumber Imam Ja`far ash-Shadiq bahwa ayat-ayat di atas turun menyangkut seorang dari Bani Ummayyah yang ketika itu sedang berada di sisi Nabi saw, lalu Abdullah Ibn Ummi Maktum datang. Ketika orang tersebut melihat Abdullah, dia merasa jijik olehnya, lalu menghindar dan bermuka masam sambil memalingkan wajah. Maka sikap orang itulah yang diuraikan oleh ayat-ayat di atas dan dikecam. Demikian Thabathaba’i. Yang Terlewatkan dari Pandangan Allamah Thabathaba’i Dalam Tafsir Al-Misbah Di bawah ini saya ingin menyampaikan secara utuh dan menambahkan apa yang disampaikan oleh Allamah dengan maksud itmamul faedah (biar manfaatnya menjadi sempurna) dan agar pembaca dapat membandingkan dengan mudah antara pandangan beliau dan kritikan Ustad M. Quraish Shihab. Berikut ini pandangan Allamah secara utuh: Ayat-ayat tersebut (ayat pertama dan kedua—pen.) tidak mempunyai indikator kuat (dzahiratu dalalah) yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah Nabi saw. Itu hanya sekedar berita tanpa menjelaskan dengan tegas siapa yang menjadi pusat berita. Bahkan pada hakikatnya ayat itu menunjukkan bahwa yang dimaksud selain Nabi saw. Sebab, muka masam (al-`abus) bukan sifat Nabi saw terhadap musuh-musuhnya yang keras, apalagi terhadap orang-orang mukmin yang mendapatkan hidayah (petunjuk). Allah swt telah mengagungkan akhlak Nabi saw ketika Dia berfirman—sebelum turunnya surah ini (surah Abasa): “Dan sungguh padamu (Muhammad) terdapat budi pekerti yang agung.” Ayat ini terdapat dalam surah Nun dimana banyak riwayat-riwayat yang menjelaskan urutan surah menyepakati bahwa surah ini diturunkan setelah surah ‘Iqra bismi Rabbik (al-`Alaq). Lalu, bagaimana dapat diterima oleh akal: di satu sisi Allah swt mengagungkan akhlaknya di saat permulaan pengutusannya dan Allah menyatakannya secara mutlak lalu setelah itu di sisi lain Dia justru mencelanya atas sebagian perilaku dan akhlaknya yang tercela di mana dinyatakan bahwa beliau lebih memperhatikan orang-orang kaya meskipun mereka kafir dan berpaling dari kaum fakir miskin meskipun mereka beriman dan memperoleh hidayah. Allah swt juga berfirman: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. asy-Syu`ara’: 215) Allah memerintahkan beliau untuk bersikap lembut terhadap orang-orang mukmin, surah ini pun termasuk surah Makkiyyah, sedang konteks diturunkannya ayat ini berkenaan dengan firman-Nya: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,” yang turun pada masa-masa mula dakwah. Begitu juga firman-Nya: “Janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. al-Hijr: 88) Dan dalam konteks ayat ini terdapat firman-Nya: “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. al-Hijr: 94) Ayat-ayat ini turun di permulaan dakwah secara terang-terangan, sehingga bagaimana mungkin kita membayangkan bahwa Nabi saw bermuka masam dan berpaling dari kaum mukmin, padahal beliau diperintahkan untuk menghormati keimanan mereka dan bersikap lemah lembut terhadap mereka serta beliau dilarang untuk terpikat dengan kekayaan para penyembah dunia (harta).9 Setelah memaparkan pendapat Allamah Thabathaba’i tersebut, ustad M. Quraish Shihab memberikan tanggapan dan kritikan atas keterangan Allamah sebagai berikut: Hemat penulis, apa yang dikemukakan Thabathaba’i di atas lebih bayak terdorong oleh keinginan untuk mengagungkan nabi Muhammad saw, dan ini adalah suatu hal yang sangat terpuji. Hanya saja, alasan-alasan yang dikemukakannya tidak sepenuhnya tepat. Rasul saw sama sekali tidak mengabaikan Ibn Ummi Maktum karena kemiskinan atau kebutaannya, tidak juga melayani tokoh-tokoh kaum musyrikin itu karena kekayaan mereka. Nabi melayaninya karena mengharap keislaman mereka, yang menurut perhitungan akan dapat memberi dampak yang sangat positif bagi perkembangan— melebihi pelayanan ketika itu jika dibandingkan dengan melayani Abdullah Ibn Ummi Maktum. Agaknya ketika itu beliau sadar bahwa menangguhkan urusan sahabat (Abdullah Ibn Ummi Maktum) dapat dimengerti oleh sang sahabat dan dapat diberi kesempatan lain, sedang mendapat kesempatan untuk memperdengarkan dengan tenang kepada tokoh-tokoh musyrik itu tidak mudah. Di sisi lain, kata “talahha” bukanlah berarti mengabaikan dalam pengertian menghina dan melecehkan, karena seperti penulis kemukakan di atas ia digunakan juga untuk mengerjakan sesuatu yang penting dengan mengabaikan sesuatu lain yang juga penting. Apa yang dilakukan Nabi saw dengan hanya bermuka masam, tidak menegur dengan kata-kata apalagi mengusirnya adalah satu sikap yang sangat terpuji—dalam ukuran tokoh-tokoh masyarakat dewasa ini dan kala itu. Jangankan mengganggu pertemuan orang penting, mendekat saja ke ruangnya bisa-bisa mengakibatkan penangkapan atau paling tidak hardikan. Nabi saw sama sekali tidak melakukan hal itu. Bahkan muka masamnya pun tidak terlihat oleh Abdullah Ibn Ummi Maktum. Anda boleh bertanya: Jika demikian, mengapa beliau ditegur? Jawabannya karena beliau adalah manusia teragung, sehingga sikap yang menimbulkan kesan yang negatif pun tidak dikehendaki Allah untuk beliau perankan. Memang seperti bunyi rumus: Hasanat al-Abrar Sayyi’at al-Muqarrabin (apa yang dinilai kebajikannya orang-orang yang amat berbakti, masih dinilai keburukan oleh orang-orang yang didekatkan Allah kepada-Nya). Nabi Muhammad saw adalah makhluk yang paling didekatkan Allah ke sisi-Nya, karena itu beliau ditegur. Apa yang beliau lakukan itu dapat menimbulkan kesan bahwa beliau mementingkan orang kaya atas orang miskin, orang terpandang dalam masyarakat dan yang tidak terpandang. Ini kesan orang lain, dan Allah hendak menghapus kesan semacam itu dengan turunnya ayat-ayat ini. Karena itu, teguran ayat-ayat di atas justru menunjukkan keagungan nabi Muhammad saw, dan bahwa beliau adalah manusia, tetapi bukan seperti manusia biasa, beliau adalah semulia-mulia makhluk Allah. Di sisi lain teguran di atas mengajarkan kepada nabi Muhammad saw bahwa ada hal-hal yang terlihat dengan pandangan mata serta indikator-indikator yang nampak bahwa itulah yang baik dan tepat, tetapi pada hakikatnya jika diperhatikan lebih dalam lagi dan dipikirkan secara seksama atau jika diketahui hakikatnya yang terdalam, maka ia tidak demikian. Ini serupa dengan yang dialami oleh nabi Musa as bersama dengan hamba Allah yang membocorkan perahu, membunuh anak dan membangun kembali tembok yang nyaris roboh. Dalam pandangan mata lahiriah, kesemuanya tidak dapat dibenarkan, tetapi dalam pandangan Allah dan hakikat sebenarnya justru itulah yang terbaik. Dalam kasus nabi Muhammad saw ini, Allah mengajarkan beliau bahwa kalaulah kelihatannya berdasarkan indikator-indikator yang nyata bahwa tokoh kaum musyrikin yang dilayani nabi Muhammad saw itu diharapkan memeluk agama Islam, maka pada hakikatnya tidaklah demikian. Tokoh-tokoh itu sama sekali menolak apa yang beliau lakukan, dan dengan demikian menghadapi walau seorang yang benar-benar ingin belajar dan menyucikan diri jauh lebih baik. Allah swt tidak menjadikan pelajaran ini teguran dari seorang makhluk—bukan seperti pengajaran yang disampaikan Allah kepada nabi Musa as melalui teguran hamba-Nya yang saleh, karena hanya Allah sendiri yang mendidik beliau, sehingga sempurnalah kepribadian nabi Muhammad saw.[1] Catatan dan Telaah atas Pendapat Ustad M. Quraish Shihab 1-Metedologi tafsir yang diyakini oleh Allamah adalah tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an. Artinya, beliau meyakini bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu satu sama lain saling menafsirkan, saling menjelaskan dan saling menguatkan. Menurut Allamah, al-Qur’an itu pelita dan penjelas buat segala sesuatu maka mana mungkin ia tidak menjadi penjelas untuk dirinya sendiri! 2-Bila Ustad M. Quraish Shihab menyatakan bahwa yang bermuka masam itu memang nabi saw maka itu berarti beliau membenarkan riwayat Asbab Nuzul yang mengisahkan hal itu, padahal sanad perawinya bermasalah/lemah (dha`if). Redaksi riwayat itu sebagai berikut: Pada suatu ketika Rasulullah saw menerima dan berbicara dengan pemuka-pemuka Quraisy yang beliau harapkan agar mereka masuk Islam. Bersamaan dengan itu datanglah Ibnu Ummi Maktum, seorang sahabat yang buta yang mengharap agar Rasulullah saw membacakan kepadanya ayat-ayat al-Quran yang telah diturunkan Allah. Tetapi Rasulullah saw bermuka masam dan memalingkan muka dari Ibnu Ummi Maktum (nama lengkapnya Abdullah bin Ummi Maktum) yang buta itu, lalu Allah menurunkan surat ini sebagai teguran atas sikap Rasulullah saw terhadap Ibnu Ummi Maktum itu. Dalam kitab Sunan Turmudzi disebutkan bahwa pelaku yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah nabi saw. Al-Hakim meriwayatkan hadis serupa dengan sanad yang sama dimana bunyi hadisnya sebagai berikut: “Diriwayatkan dari Sa`id bin Yahya bin Sa`id al-Umawi, dari ayahku dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya (Urwah bin Zubair), dari Aisyah ra. Berkata: Diturunkan tentang Ibnu Ummi Maktum yang buta, dia (Ibnu Ummi Maktum) mendatangi Rasulullah saw seraya berkata: ‘Berilah aku petunjuk!’ saat itu Rasulullah saw sedang bersama pembesar kaum musyrik, lalu Rasulullah saw berpaling darinya dan menghadap pada yang lain (pembesar kaum musyrik). Kemudian Ibnu Ummi Maktum bertanya: ‘Apakah saya melakukan kesalahan dalam ucapan saya tadi?’ Rasulullah saw menjawab: ‘Tidak.’ Dalam peristiwa ini turunlah surah Abasa. Dalam tafsir al-Misbah, Ustad M. Quraish Shihab mengemukakan pendapat al-Wahidi yang meriwayatkan– tanpa menyebut sanad (rangkaian perawinya) bahwa setelah peristiwa ini, bila Abdullah Ibn Ummi Maktum ra datang, menyambutnya dengan ucapan: “Marhaban (selamat datang) wahai siapa yang aku ditegur—karena ia—oleh Tuhanku.”[2] Di sini saya akan menyampaikan analisa dan kritikan terhadap kebenaran riwayat bermuka masamnya nabi saw tersebut. Kritikan ini saya sarikan dan nukil dari buku “Nabi Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam”, karya guru saya yang terhormat al-Marhum Ustad Husein bin Abu Bakar al-Habsyi. Analisa dan kritikan terhadap kebenaran riwayat bermuka masamnya nabi saw yang saya maksud adalah: 1. Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkannya, sehingga hadis ini tidak muttafaqun alaih (yang disepakati oleh keseluruhan) . 2. Sebab turunnya ayat tersebut simpang siur, yakni: a) Yahya bin Sai`d Dia adalah seorang penulis sejarah hidup nabi saw, namun Imam Ahmad tidak begitu mengandalkannya. Ia banyak menukil dari A`masy hal-hal yang aneh, dan ia bukan termasuk ahli hadis.[3] b) Urwah bin Zubair Dia termasuk orang yang berpredikat “nashibi” (orang yang membenci Ahlul-bait nabi saw). Dengan demikian, menurut Ibn Hajar al-Atsqalani, riwayat dari orang yang “nashibi” dianggap lemah dan tidak dapat dipercaya. c) Hisyam bin Urwah Pada akhir hayatnya, kekuatan hafalnya memudar. Orang yang mendengar riwayat darinya berubah-ubah. Ya`qub mengatakan, dia seorang yang tsiqqah (yang dipercaya), tidak ada satu pun riwayat yang dicurigai kecuali setelah ia tinggal di kota Irak dan mengobral hadis yang ia sandarkan riwayatnya pada ayahnya, sehingga ia ditegur oleh ulama kota tersebut. Imam Malik tidak rela atau tidak setuju ia sebagai perawi hadis. d) Ummul Mukminin Aisyah Ath-Thabari, seorang pakar tafsir besar Ahlu Sunnah menyatakan bahwa at-Turmudzi menganggap hadis ini (hadis muka masamnya nabi saw) sebagai hadis yang aneh (hadza hadisun gharib).[4] 3-Al-Arif Billah al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi ra, penulis kitab maulid “Simthu Durar” yang cukup terkenal di kalangan habaib di Indonesia, mengatakan: “Bila Nabi saw diundang oleh seorang miskin maka beliau segera memenuhi panggilan atau undangannya.” [5] (Idza da`ahul miskinu ajabahu ijabatan mu`ajjalah). Dari sini dapat kita simpulkan bahwa cemberutnya nabi saw dan sikap yang lebih memperhatikan orang-orang kaya (bangsawan kafir) daripada seorang mukmin yang miskin adalah tidak sesuai dengan sifat beliau yang digambarkan oleh al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi ra.[] Bersambung.. .. Penulis: S1 Ulumul Quran di Universitas Imam Khomeini Qom Republik Islam Iran. Rujukan: [2] Tafsir al-Misbah Volume 15 halaman 60, Cetakan V. |